Tuesday, June 15, 2010

OJK dan JPSK. Kpaan Mau Beres Sih??


Undang-undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) dan Ototitas Jasa Keuangan (OJK) merupakan UU yang dianggap wajib disahkan pada tahun ini. Namun masih terdapat kekhawatiran terhadap kedua UU ini.

RUU JPSK
RUU JPSK merupakan RUU yang menjadi masalah pokok Century.

RUU JPSK bermula dari keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 4 tahun 2008 yang dikeluarkan oleh pemerintah pada 15 Oktober 2008. Ruang lingkup Perppu ini hanya meliputi tindakan pencegahan dan penanganan krisis.

Tindakan pencegahan dan penanganan krisis sendiri meliputi penanganan kesulitan likuiditas dan masalah sovabilitas bank yang berdampak sistemik, dan penanganan kesulitan likuiditas dan masalah solvabiltas lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang berdampak sistemik.

Perppu ini sempat dibahas oleh DPR untuk menjadi UU. Namun ditolak 3 fraksi DPR pada tahun 18 Desember 2008, yaitu Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan FPPP.

Belum terdapat keputusan secara jelas bahwa Perppu No 4 tahun 2008 ini ditolak atau tidak oleh DPR pada tahun 2008. Namun Perppu ini terbengkalai akibat adanya Pemilu pada 2009. Sehingga pembahasannya pun tertunda hingga tahun 2009.

Pada tahun 2009, DPR sudah dipenuhi oleh wajah-wajah baru. Hal inilah yang membuat pengambilan keputusan oleh DPR menjadi tidak jelas. Karena DPR saat ini tidak mengetahui tentang asal usul dan urgensi RUU ini.

Pemerintah dan DPR pun mengalami perbedaan pendapat tentang penolakan RUU JPSK ini. Jika pemerintah menganggap bahwa penolakan RUU ini dilakukan pada 30 September 2009, maka DPR menganggap bahwa penolakan RUU ini terjadi pada 18 Desember 2008.

Pemerintah (SBY) pun sampai mengirimkan surat dua kali kepada DPR, yaitu pada 11 Desember 2009 dan 7 April 2010. Penyampaian surat ini dilakukan agar RUU ini dibahas kembali. Namun surat presiden yang pertama itu pun ditolak.

Pentingnya UU JPSK sangat dirasakan oleh Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia. Dengan adanya UU ini, maka proses penanganan krisis di perbankan akan menjadi lebih terarah dan jelas. Walaupun terdapat hal yang menjadi kontroversial dalam RUU ini, yaitu bahwa Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan/atau pihak yang melaksanakan tugasnya sesuai Perppu No. 4 tahun 2008 tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan.

RUU OJK
RUU ini lebih tujukan bagi fungsi pengawasan dan pengaturan. Adanya OJK sesuai dengan pasal 34 UU Nomor 3 tahun 2004. Tenggat yang diberikan untuk diadakannya OJK adalah 31 Desember. Maka pemerintah baru mulai sibuk pada 2010 ini untuk membahas tentang OJK.

Fungsi pengaturan dipegang oleh dewan komisioner OJK, yang merupakan dewan tertinggi dalam lembaga keuangan baru tersebut. Di bawah dewan komisioner tersebut nantinya ada sejumlah pengawas independen, seperti yang dimiliki Bapepam-LK saat ini, seperti pengawas pasar modal dan pengawas perbankan.

Walaupun independen, pengawas tersebut akan diawasi langsung oleh dewan pengawas. Sementara itu, berdasarkan amanat pasal 34 Undang-Undang Nomor 3/2004 tentang BI, bank sentral itu hanya sebagai otoritas moneter.

Menurut survey yang dilakukan oleh Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas), 41,27 persen responden menyatakan tak setuju pengawasan perbankan diserahkan kepada lembaga pengawasan terpisah, seperti OJK, sementara 39,68 persen setuju.

Akan tetapi kekhawatiran oleh bankir tentang RUU OJK ini adalah karena mereka takut bahwa orang yang mengawasi tidak mengerti masalah perbankan. Sehingga para bankir lebih memilih Bank Indonesia sebagai pengawas.

Pihak yang setuju terhadap adanya OJK adalah karena Bank Indonesia dirasakan kurang mengerti kebutuhan perbankan saat ini. Sehingga diperlukannya badan baru yang hanya mengurusi tenntang pengawasan terhadap perbankan.

Akan tetapi perlu pembagian tugas dan koordinasi yang jelas pula pada OJK dan Bank Indonesia. Karena sifatnya yang hampir bersinggungan.

selain itu jika telah beroperasional nanti, maka beban operasional badan OJK ini akan ditanggung dalam APBN. Sehingga akan menambah beban APBN. Padahal program pengawasan di Bank Indonesia sendiri pada tahun 2010 mengeluarkan biaya Rp.1,7 triliun yang diambil dari dana Bank Indonesia sendiri.

Bahkan direncanakan OJK akan mengambil premi terhadap jasa keungan. Hal ini tentu saja akan menambah biaya bagi operasional bank.

No comments:

Post a Comment