Saturday, January 8, 2011

Bagian Dari Program Konversi Terbesar di Dunia


Sekilas lalu, mungkin judul ini merupakan hal yang wow. Tetapi sesungguhnya tidak seperti itu. Saya hanyalah manusia biasa dengan pemikiran sederhana yang berada dalam suatu keadaan yang kompleks.

Saat ini, Sabtu 8 Januari 2011, tepat weekend kedua dimana saya masuk untuk mengerjakan laporan akhir. Weekend pertama adalah tanggal 1 Januari, sayangnya hari dimana bagi seluruh umat merupakan hari libur, saya harus mengerjakan presentasi di kantor.

Senin minggu depan merupakan tanggal "penentuan" untuk pekerjaan ini, karena pada tanggal tersebut merupakan tanggal dimana kantor kami melaksanakan presentasi hasil laporan akhir tentang proyek ini.

Cukup review untuk saat ini. Mari kita langsung ke topik.

Pada tahun 2007, pemerintah dengan inisiator Jusuf Kalla (JK) melakukan tindakan responsif atas isu meningkatnya harga minyak dunia. Insiatif yang dilakukan JK adalah dengan melakukan program konversi atas minyak tanah untuk ditukar dengan LPG. (Walaupun terdapat rumor bahwa salah satu anak JK mendapat keuntungan dengan menjual tabung LPG. Dia bahkan telah merapatkan kapal dengan tabung LPG 3Kg ke pelabuhan walaupun program ini belum diresmikan).

Program ini pada awalnya merupakan program yang akan dilakukan hingga 2011. Akan tetapi dimajukan hingga menjadi 2010.

Pemerintah membuat skema penghematan yang dapat dicapai. Angka penghematan yang dilakukan pun mencapai trilyunan rupiah. Akan tetapi, ini Indonesia bung! Hitam diatas putih pun dapat menjadi abu-abu.

1001 masalah pun terjadi. Dimulai dari sisi pemerintah, pembuatan paket perdana, pendistribusian paket perdana, hingga ketepatan sasaran program ini.

Masalah lain pun muncul dari sisi masyarakat. Pendistribusian paket ini kepada mereka laksana ingin membuat orang yang terbiasa di desa untuk memakai komputer.

Cultural Shock. Itulah yang terjadi.

Walaupun belum proyek yang saya kerjakan ini belum selesai. Namun dapat dipastikan bahwa angka ketepatan sasaran berdasarkan Perpres No. 104 tahun 2007 tentang kriteria penerima paket hanya berkisar 50%. Anda Tidak salah lihat, hanya 50% (lima puluh persen).

Trilyunan uang negara yang digunakan untuk membiayai program ini ternyata hanya setengahnya yang tepat. Bahkan sekitar 25% penerima paket perdana tidak menggunakan lagi LPG 3 Kg yang diterimanya.

Angka ini memang hanya sementara. Tetapi data tersebut walau hanya dari 24 ribu responden tetapi cukup mengejutkan.

Lebih jauh lagi, banyak responden yang fiktif. Hal ini diakibatkan rendahnya pengawasan pendataan yang dilakukan oleh PT Pertamina dan Dirjen Migas. Bahkan konsultan pendistribusian berani memalsukan jumlah paket yang telah dibagikan.

Lepas dari masalah pemerintah, kita ke masalah masyarakat. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang cara pemakaian LPG pun sangat hebat. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa tabung LPG dan kompor harus diletakkan di tempat datar dan tidak meletakkan tabung LPG jauh dari sumber api. Padahal ini merupakan salah satu standar yang paling dasar.

Lihatlah, apakah masih terdapat kasus ledakan yang berhubungan dengan tabung LPG? Seperti tahun lalu, ketika proyek ini berjalan, kasus ledakan LPG menjadi hilang. Apakah perlu diawasi terus menerus seperti ini agar tidak terjadi kasus ledakan?

Sungguh ironi, sebuah proyek yang hebat dan bermanfaat, tetapi justru sangat bermasalah dalam pelaksanaannya.

Kelanjutan dari program konversi ini adalah adanya program pendistribusian isi LPG secara tertutup. PT Pertamina berani menannggung segala kesulitan dan kerugian yang terjadi dalam program konversi untuk mengincar program pendistribusian tertutup ini.

Banyak hal yang terjadi dalam proyek yang saya jalani, ini hanyalah sekelumit kisah tentang program ini. Mudah-mudahan Indonesia dapat menjadi negara yang jauh lebih baik, karena sungguh, saya hanya ingin rakyat Indonesia maju.

Tuesday, June 15, 2010

Sekilas Tentang Krisis Yunani

Ekonomi Yunani saat ini sedang berada di ujung tanduk. Krisis di Yunani juga membuat Uni Eropa menjadi menjadi tidak setangguh yang diduga.

Sembilan tahun lalu Yunani diterima sebagai anggota Uni Eropa. Skala perekonomian yang kecil dianggap oleh sebagian orang akan membawa masalah untuk Uni Eropa karena tidak sebanding dengan negara-negara Eropa lainnya yang masuk Uni Eropa.

Defisit APBN Yunani tahun lalu sebesar 12.7%. Kekhawatiran pada pasar obligasi tentang rencana Yunani untuk mengatasinya menjadi serangan hebat. Pada bulan Januari 2010 yield obligasi 10 tahun mencapai 7.1%, angka tertinggi selama Yunani menjadi anggota Uni Eropa dan empat persen lebih tinggi daripada yield obligasi Jerman yang dianggap teraman di Eropa. Sedangkan total utangnya adalah 112.6% dari GDP dan diperkirakan oleh akan naik hingga 130.1% dari GDP.

European Commission memaksa Yunani agar defisit tahun 2012 mencapai 3% dan target defisit pada pertengahan Maret menjadi 8.7%.

Masalah krisis ini di khawatirkan membuat pemerintah Yunani tidak mampu membiayai ulang obligasi sekitar sebesar €20 milyar atau setara dengan US$ 27 milyar yang jatuh tempo pada bulan April dan Mei. Maka hal yang selanjutnya dapat terjadi adalah Yunani menjadi gagal bayar (default).
Gagal bayar Yunani tentu saja akan membuat kepercayaan pasar terhadap negara-negara Euro lainnya untuk membayar utangnya turun. Beberapa negara yang dianggap berpeluang gagal bayar lainnya adalah Spanyol Portugal, dan Irlandia.

Pemerintah Yunani sendiri telah melakukan beberapa hal untuk mengurangi defisit APBN. Pengurangan public spending merupakan salah satunya. Kenaikan pajak bahan bakar, alkohol dan rokok, pengurangan upah dan tunjangan untuk pegawai negeri, dan kenaikan batas pensiun dari 58 tahun menjadi 65 tahun untuk laki-laki dan perempuan.

Akan tetapi yang dilakukan oleh pemerintah Yunani ini tentu saja kurang memberikan dampak yang signifikan, walaupun dapat dianggap sebagai niat baik Yunani untuk merubah kondisi perekonomiannya. Maka opsi lainnya adalah meminjam dana.

Opsi peminjaman dana dapat dilakukan melalui dua badan, yaitu European Commission dan IMF. Akan tetapi masalah tidak selesai begitu saja.

Jika European Commission memberikan bantuan kepada Yunani maka negara lainnya akan meminta bantuannya juga. Hal ini dikarenakan banyak negara lainnya yang memiliki jumlah utang yang sangat besar juga. Padahal jika tidak ditolong, maka efek yang akan terjadi adalah mernajalr ke negara-negara lainnya.
Opsi lainnya adalah meminjam kepada IMF. Meminjam kepada IMF tentu saja mepertaruhkan nama Uni Eropa. Uni Eropa selama ini dianggap sebagai wilayah yang well established. Meminta bantuan kepada IMF berarti menunjukan kelemahan dari Euro yang dianggap sebagai tameng untuk menghadapai krisis.
European Commission Summit pada tanggal 22- 23 Maret di Brussles memutukan bahwa penyelamatan Yunani akan dilakukan dengan meminta bantuan dari IMF.

Bentuk bantuan tersebut merupakan gabungan antara dana dari European Commission dan IMF. Dana yang diberikan menurut sumber berkisar antara € 20 – 22 milyar atau setara dengan US$ 27 – 29 milyar. Nilai ini hampir setara dengan jumlah yang harus dibayar oleh pemerintah Yunani untuk melunasi obligasinya.
Pelajaran yang dapat dipetik dari krisis Yunani adalah pentingnya pengelolaaan utang. Kasus Yunani menjadi berbahaya, karena jika terjadi gagal bayar (default) maka akan menghilangkan kepercayaan investor dan perbankan. Hal ini akan menjadi bencana karena populasi Yunani sendiri hanya 11 juta orang. Kecilnya skala ekonomi dalam negeri akan membuat posisi gagal bayar menjadi sangat berpengaruh terhadap perekonomian.

Pengelolaan utang di Indonesia sendiri sudah baik. Dengan posisi jumlah utang kita adalah 28% dibandingkan dengan PDB pada tahun 2009. Padahal pada tahun 2001 posisi utang Indonesia adalah 77% dari PDB. Walau jumlah utang terjadi kenaikan 38%, namun PDB kita meningkat hingga hampir 3.5 kali lipat dari tahun 2001 ke 2009. Defisit APBN kita pun sangat kecil. Pada tahun 2009 defisit kita 2.4 % dan pada 2010 diperkirakan sebesar 1.6%. Berbeda jauh dengan yang terjadi pada Yunani. Bahkan terdapat UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara yang membatasi defisit nasional maksimal 3% dari PDB.

OJK dan JPSK. Kpaan Mau Beres Sih??


Undang-undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) dan Ototitas Jasa Keuangan (OJK) merupakan UU yang dianggap wajib disahkan pada tahun ini. Namun masih terdapat kekhawatiran terhadap kedua UU ini.

RUU JPSK
RUU JPSK merupakan RUU yang menjadi masalah pokok Century.

RUU JPSK bermula dari keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 4 tahun 2008 yang dikeluarkan oleh pemerintah pada 15 Oktober 2008. Ruang lingkup Perppu ini hanya meliputi tindakan pencegahan dan penanganan krisis.

Tindakan pencegahan dan penanganan krisis sendiri meliputi penanganan kesulitan likuiditas dan masalah sovabilitas bank yang berdampak sistemik, dan penanganan kesulitan likuiditas dan masalah solvabiltas lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang berdampak sistemik.

Perppu ini sempat dibahas oleh DPR untuk menjadi UU. Namun ditolak 3 fraksi DPR pada tahun 18 Desember 2008, yaitu Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan FPPP.

Belum terdapat keputusan secara jelas bahwa Perppu No 4 tahun 2008 ini ditolak atau tidak oleh DPR pada tahun 2008. Namun Perppu ini terbengkalai akibat adanya Pemilu pada 2009. Sehingga pembahasannya pun tertunda hingga tahun 2009.

Pada tahun 2009, DPR sudah dipenuhi oleh wajah-wajah baru. Hal inilah yang membuat pengambilan keputusan oleh DPR menjadi tidak jelas. Karena DPR saat ini tidak mengetahui tentang asal usul dan urgensi RUU ini.

Pemerintah dan DPR pun mengalami perbedaan pendapat tentang penolakan RUU JPSK ini. Jika pemerintah menganggap bahwa penolakan RUU ini dilakukan pada 30 September 2009, maka DPR menganggap bahwa penolakan RUU ini terjadi pada 18 Desember 2008.

Pemerintah (SBY) pun sampai mengirimkan surat dua kali kepada DPR, yaitu pada 11 Desember 2009 dan 7 April 2010. Penyampaian surat ini dilakukan agar RUU ini dibahas kembali. Namun surat presiden yang pertama itu pun ditolak.

Pentingnya UU JPSK sangat dirasakan oleh Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia. Dengan adanya UU ini, maka proses penanganan krisis di perbankan akan menjadi lebih terarah dan jelas. Walaupun terdapat hal yang menjadi kontroversial dalam RUU ini, yaitu bahwa Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan/atau pihak yang melaksanakan tugasnya sesuai Perppu No. 4 tahun 2008 tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan.

RUU OJK
RUU ini lebih tujukan bagi fungsi pengawasan dan pengaturan. Adanya OJK sesuai dengan pasal 34 UU Nomor 3 tahun 2004. Tenggat yang diberikan untuk diadakannya OJK adalah 31 Desember. Maka pemerintah baru mulai sibuk pada 2010 ini untuk membahas tentang OJK.

Fungsi pengaturan dipegang oleh dewan komisioner OJK, yang merupakan dewan tertinggi dalam lembaga keuangan baru tersebut. Di bawah dewan komisioner tersebut nantinya ada sejumlah pengawas independen, seperti yang dimiliki Bapepam-LK saat ini, seperti pengawas pasar modal dan pengawas perbankan.

Walaupun independen, pengawas tersebut akan diawasi langsung oleh dewan pengawas. Sementara itu, berdasarkan amanat pasal 34 Undang-Undang Nomor 3/2004 tentang BI, bank sentral itu hanya sebagai otoritas moneter.

Menurut survey yang dilakukan oleh Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas), 41,27 persen responden menyatakan tak setuju pengawasan perbankan diserahkan kepada lembaga pengawasan terpisah, seperti OJK, sementara 39,68 persen setuju.

Akan tetapi kekhawatiran oleh bankir tentang RUU OJK ini adalah karena mereka takut bahwa orang yang mengawasi tidak mengerti masalah perbankan. Sehingga para bankir lebih memilih Bank Indonesia sebagai pengawas.

Pihak yang setuju terhadap adanya OJK adalah karena Bank Indonesia dirasakan kurang mengerti kebutuhan perbankan saat ini. Sehingga diperlukannya badan baru yang hanya mengurusi tenntang pengawasan terhadap perbankan.

Akan tetapi perlu pembagian tugas dan koordinasi yang jelas pula pada OJK dan Bank Indonesia. Karena sifatnya yang hampir bersinggungan.

selain itu jika telah beroperasional nanti, maka beban operasional badan OJK ini akan ditanggung dalam APBN. Sehingga akan menambah beban APBN. Padahal program pengawasan di Bank Indonesia sendiri pada tahun 2010 mengeluarkan biaya Rp.1,7 triliun yang diambil dari dana Bank Indonesia sendiri.

Bahkan direncanakan OJK akan mengambil premi terhadap jasa keungan. Hal ini tentu saja akan menambah biaya bagi operasional bank.