Tuesday, June 15, 2010

High Cost Economy dan Politik Indonesia

Politik di Indonesia erat hubungannya dengan ekonomi. Bahkan gejala High Cost Economy (ekonomi biaya tinggi) merupakan efek dari kentalnya pengaruh politik.

Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa uang pelicin merupakan hal yang diwajibkan jika ingin bisnis berjalan lancar. Hal ini bahkan membuat Indoneia mendapat peringkat kedua terburuk se Asia dalam sisi efisiensi pelayanan masyarakat dan iklim investasi asing menurut Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Survei yang diadakan pada awal 2010 itu melibatkan 1.373 eksekutif ekspatriat pada level menengah dan senior.

Singapura menduduki peringkat pertama dalam survey tersebut dengan skor 2.53, menyusul Hong Kong di peringkat kedua dengan skor 3,49. Singapura dan Hong Kong juga menduduki peringkat pertama dan ketiga secara global dalam survei teranyar Bank Dunia dalam hal kemudahan menjalankan bisnis (The Ease of Doing Business). Survei oleh Bank Dunia itu dilakukan kepada 183 ekonom.

Berdasarkan peringkat daya saing pun, Indonesia tidak berubah dari posisi 54-55 dalam 2 tahun terakhir. Hanya sedikit di atas Vietnam dan Philipina.

Faktor Politik
Banyak hal-hal yang membuat politik menjadi salah satu faktor utama tingginya high cost economy di Indonesia.

Mengambil contoh terakhir adalah tentang Dana Aspirasi. Dana aspirasi diajukan pertama kali oleh Fraksi GOlkar. Besarnya dana yang diminta adalah Rp 15 milyar untuk masing-masing daerah pemilihan.

Fraksi Golkar berpendapat bahwa dana aspirasi akan memberikan beberapa manfaat, yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pembangunan dan percepatan turunnya dana pembangunan ke daerah yang selama ini dirasakan masih kurang memuaskan.

Maka bukan menjadi tidak mungkin ketidakefisienan pemakaian dana aspirasi ini akan terjadi. Bahka pemkaiannya akan bersifat manipulatif, ungkap Peneliti Kebijakan Publik Universitas Islam Indonesia Mahmudi.

Jika dana aspirasi ini benar terjadi, maka duit yang dikeluarkan lebih dari Rp 8,4 triliun. Perhitungan Rp 8,4 triliun didapatkan dengan mengkalikan 560 orang anggota DPR dikalikan dengan Rp15 miliar.

Jumlah yang cukup untuk membangun dan memperbaiki sekolah untuk daerah pedesaan sehingga dapat memperbaiki kualitas SDM kita. Jumlah tersebut juga dapat dianggarkan untuk pembangunan infrastruktur sehingga dapat lebih meningkatkan efisiensi perekonomian.

Bahkan dana aspirasi ini bersifat tidak berimbang. Pulau Jawa dengan perwakilan yang terbanyak di DPR akan mendapt dana yang lebih banyak. Padahal yang memerlukan dana ini adalah masyarakat dari luar Pulau Jawa.

Proyek Single Identity Number (SIN) pun bernilai sekitar Rp 6 triliun. Padahal SIN lebih dibutuhkan daripada dana aspirasi.

Proyek pengadaan laptop bagi anggota DPR, mobil pemerintah seharga lebih dari Rp 1 triliun, pembangunan gedung baru untuk DPR dan banyak proyek lainnya yang dapat dianggap pemborosan.

Ini hanya dari faktor pemborosan uang negara, belum lagi sikap setiap propinsi yang merasa bagai raja kecil yang hanya akan meninggikan biaya ekonomi karena banyaknya jalur dan birokrasi yang harus dilewati untuk mendapatkan ijin.

Otonomi daerah lebih bermakna pemerataan korupsi daripada pemerataan pembangunan.Hal ini dapat dilihat dari wawancara Deputi Bidang Investigasi Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) Pusat, Suradji.

Dia mengatakan bahwa Wilayah atau kabupaten pemekaran di Indonesia menjadi salah satu daerah rawan korupsi mengingat daerah itu memliki keterbatasan sumber daya manusia dan belum adanya pedoman atau sistem yang baik.

Buku berjudul Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan yang ditulis Hadi Supeno ini secara umum seolah memberikan jawaban atas kebenaran sinyalemen di atas. Buku ini memaparkan kesaksian, pengalaman, dan pengakuan penulisnya yang mantan birokrat di daerah tentang bagaimana, siapa, dan mengapa praktik dan perilaku korupsi dapat begitu mewabah dan marak di daerah, khususnya pada era otonomi daerah.

Maka jangan salahkan keengganan orang asing untuk berinvestasi akibat tingginya biaya yang diperlukan. Seperti diungkapkan ekonom Imam Sugema bahwa high cost ekonomy kerap membuat investor enggan menanamkan modalnya. Ini antara lain meliputi, birokrasi yang lambat serta tingkat korupsi yang kerap membayangi sistem birokrasi pemerintah.

Perbandingan yang terkenal akibat ketidakefisienan adalah harga jeruk Medan lebih mahal daripada jeruk Cina. Hal ini tentu saja harus dikaji kembali. Jangan sampai politik sangat menyetir perekonomian kita. Karena ekonomi adalah menyangkut hajat hidup orang banyak.

No comments:

Post a Comment